Begitu
banyak anggapan – anggapan yang salah dan terdapat di masyarakat luas, banyak
yang menganggapnya bahkan sebagai suatu kebenaran dan menjadikannya sebagai
suatu tolak ukur dalam menentukan sesuatu. Padahal jika ditelaah lebih jauh,
anggapan yang mereka anggap benar itu merupakan sebuah kesalahan atau
kekeliruan. Pemahaman seperti itu atau yang biasa disebut dengan paradigma
adalah sebuah pemikiran atau pemahaman tentang sesuatu dan dapat “mendoktrin”
seseorang untuk selalu berpikir seperti itu. Hal ini sebenarnya sama saja
seperti sebuah salah paham, dan dapat menimbulkan perbedaan bahkan
perpecahan. Sebagai contoh kecil, paradigma yang salah itu seperti ini. Banyak
yang beranggapan bahwa hal – hal yang berhubungan dengan internet ataupun semacamnya
selalu negatif karena mengandung hal-hal berbau pornografi, dan perjudian.
Padahal internet itu adalah sebuah sumber informasi yang sangat besar, segala
hal yang ingin kita ketahui bisa kita dapatkan disitu. Namun karena paradigma
yang seperti itu tadi yang mengakibatkan masyarakat kurang kepeduliannya
terhadap internet ini. Bahaya sebuah paradigma bukan hanya dapat
mempengaruhi seseorang tapi juga bahkan dapat mencakup dunia luas, ketakutan
yang berlebihan dan bahkan dapat megacaukan sebuah Negara. Salah satu contoh
yang akan saya bahas adalah paradigma masyarakat terhadap orang yang bercadar
atau berjanggut dan memakai peci, mereka menganggap orang – orang yang
berpakaian seperti itu adalah teroris. Apakah memang mereka tahu bahwa orang –
orang seperti itu adalah benar – benar teroris ? tentu saja mereka tidak tahu.
Mereka hanya terpaku pada satu pola pikir yang salah, paradigm yang salah.
Mereka sudah “terdoktrinasi” oleh hal – hal semacam itu. Jadi apapun yang
dianggapnya salah maka akan langsung “di-judge” salah. Padahal sebenarnya
mereka itu tidak tahu apa – apa. Ujung – ujungnya mereka akan saling menuduh,
berpikiran yang tidak – tidak. Dan justru yang menjadi korban adalah orang yang
disangka seperti itu akan dikucilkan dan menjadi buangan di masyarakat.
Paradigma ini harusnya diluruskan oleh siapa saja, bukan hanya masyarakat yang
meluruskan, para aparat penegak hukum pun juga harus melaksanakan, tapi
apa yang terjadi. Para penegak hukum itu pun bahkan balik menuding bahwa mereka
memang patut untuk dicurigai. Seperti yang dikutip dalam Kompas.com tanggal 26
Agustus 2009 berikut ini : Sumber
JAKARTA,
KOMPAS.com — Ajakan pihak kepolisian di sejumlah daerah agar
masyarakat lebih waspada terhadap orang-orang dengan penampilan berjenggot dan
berjubah menuai kontroversi. Sebab, sikap kewaspadaan terhadap kelompok dengan
penampilan yang dianggap identik dengan teroris itu melanggar hak asasi manusia
(HAM).
Menurut
Komisioner Komnas HAM Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Saharudin Daming, tiap
orang memiliki hak dan kebebasan untuk membentuk karakter pribadinya, termasuk
untuk berpenampilan berjenggot dan berjubah sebagaimana terdapat dalam agama
Islam. Hak tersebut tidak dapat dibatasi apalagi dikurangi
"Jika
polisi sudah masuk ke tahap waspada, apalagi sampai curiga, maka itu sudah
melanggar HAM," kata Saharudin dalam diskusi "Waspada terhadap Orang
Berjubah dan Berjanggut", di Jakarta, Rabu (26/8).
Menurut
dia, jenggot dan jubah tidak selalu identik dengan apa yang diprasangka dan
menjadi stigmatisasi sebagian kalangan terhadap para pelaku terorisme. Ia
menilai, dengan ajakan sikap kewaspadaan yang berlebihan tersebut, justru
menunjukkan bahwa polisi tidak mengenal siapa sebenarnya kelompok-kelompok
dalam jaringan terorisme.
"Jangan
dengan gampang menjadikan suatu ciri sebagai stereotipe sebagai pelaku teror.
Ini sama saja dengan menebar kebencian terhadap kelompok tertentu,"
ujarnya.
Ia
juga mencontohkan kejadian beberapa waktu lalu di Cikupa, Tangerang, ketika
seorang pria berjenggot dan berjubah dengan istrinya yang bercadar mendapatkan
interogasi yang berlebihan dari warga karena penampilannya yang dianggap mirip
teroris itu.
"Ini
salah satu akibat dari sikap kewaspadaan yang tidak pada tempatnya. Jelas ini
mengganggu kenyamanan seseorang dalam mengekspresikan martabat dirinya,"
kata Saharudin.
Ia
juga meminta agar polisi meninggalkan sikap-sikap represif dalam menangani
persoalan radikalisme semacam ini. Tindakan represif dan kekerasan justru akan
memperluas radikalisme itu sendiri. Menurutnya, harus ada pendekatan yang
sifatnya dialogis dan humanis untuk merangkul kelompok-kelompok yang berpotensi
dekat dengan teroris.
"Cobalah
undang dan ajak dialog kelompok-kelompok yang berjenggot dan berjubah. Apa yang
sebenarnya mereka inginkan. Harus ada koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang
diskriminatif," katanya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Begitu
pula dengan berita yang ini : Sumber
GIANYAR
- Sepak terjang lelaki berjenggot belakangan ini sedikit terbatas. Beberapa
daerah menangkap -setidaknya mencurigai- mereka. Seperti yang terjadi di
Buleleng dan Gianyar Bali.
Polres Gianyar menginterogasi lelaki berjenggot Rabu malam lalu (19/8). Lelaki yang diketahui bernama Zaenal Abi, 24, asal Surabaya, Jawa Timur (Jatim), tersebut ditangkap saat melintas di Jalan By Pass Buruan, Blahbatuh. Masyarakat yang melihat orang yang mencurigakan itu langsung menghubungi polisi. Zaenal pun dibawa ke kantor polisi.
Pahumas Polres Gianyar Kompol Gede Sujana yang mewakili Kapolres Gianyar AKBP Nyoman Astawa menyebutkan, polisi menanyakan identitas dan tujuan yang bersangkutan datang ke Gianyar. ''Dia mengaku salah arah hingga sampai ke Gianyar. Dia sempat bekerja di Jimbaran, Badung," kata Sujana.
Mantan Kapolsek Ubud dan Kasatintelkam itu mengungkapkan, Zaenal sudah hampir lima bulan berada di Pulau Dewata. ''Dia mengaku dihubungi seseorang dan ditawari bekerja di Gianyar. Saat sampai di Gianyar, dia kehilangan kontak,'' tegasnya.
Sebelum ditangkap polisi, lanjut Sujana, Zaenal sempat berkunjung ke Masjid Agung di Jalan Ksatrian Gianyar. Saat mendatangi masjid di selatan Kodim/1616 Gianyar itu, karena dianggap mencurigakan, Zaenal langsung diusir penjaga masjid.
''Setelah yang bersangkutan dimintai keterangan dan tidak terbukti terlibat jaringan teroris, kami membebaskannya. Kini dia sudah dikembalikan kepada keluarganya di Denpasar,'' terang Sujana.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu, jajaran Polres Gianyar membubarkan pertemuan yang kebanyakan dihadiri pria berjenggot di barat Balai Budaya Gianyar. Tapi, setelah dilakukan pemeriksaan, mereka ternyata berkumpul dalam rangka pengobatan.
Pasca ledakan bom JW Marriott dan Ritz-Carlton, polisi meningkatkan pengamanan. Bahkan, kampung turis Ubud terus diamati untuk mengantisipasi serangan teroris yang selalu menjadikan orang asing sebagai target ledakan.
Di Serang, provinsi Banten kekhawatiran terhadap teroris memunculkan kecurigaan berlebihan yang cenderung paranoid. Itu terjadi di Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Serang, Rabu malam (19/8). Warga curiga terhadap sepasang suami-istri yang salat di Masjid Al Barokah di Kampung Kadinding.
Kecurigaan itu didasarkan pada penampilan pasangan asal Balaraja, Tangerang, tersebut. Sang suami, Daud, mengenakan celana yang panjangnya sebatas mata kaki. Dagunya ditumbuhi janggut. Sementara, sang istri, Kasitri, bercadar. Perempuan itu menggandeng anaknya yang masih kecil.
Di puncak kecurigaan, warga mencecar pasangan tersebut dengan berbagai pertanyaan, setelah keduanya selesai salat Magrib. Tidak hanya itu, warga juga memeriksa tas bawaan pasutri tersebut.
Tidak puas dengan menginterogasi, warga melaporkan pasangan itu ke Polsek Cikande. Polsek Cikande yang menerima laporan tersebut membawa pasangan suami-istri itu ke Mapolsek Cikande. Kapolsek Cikande Ajun Komisaris Polisi (AKP) Budhi Batara pun membenarkan adanya kejadian yang tidak sepantasnya dialami Daud dan Kasitri tersebut.
Setelah menjalani pemeriksaan, tak lama kemudian Daud dan Kasitri dipulangkan. ''Mereka bukan teroris. Setelah kami cek, mereka memang benar warga Balaraja sesuai kartu identitas mereka,'' tegas Budhi.
Dia menilai, kecurigaan warga tersebut berlebihan. ''Selain pakaian yang dikenakan, warga mencurigainya sebagai teroris karena dua warga yang tinggal di Balaraja itu membawa tas besar. Warga mengira isinya bom,'' katanya.
Kepada polisi, Daud dan istrinya menjelaskan bahwa mereka kebetulan berada di kampung tersebut. Mereka sebenarnya berniat pulang ke Balaraja setelah urusan mereka di Bekasi selesai.
Namun, pengemudi bus ''memaksa'' mereka turun di atas terowongan tol Tangerang-Merak yang berada persis di Kampung Kadinding. Alasannya, sopir bus tidak berani menurunkan mereka di tol Balaraja, mengingat ada petugas Patroli Jalan Raya (PJR).
''Mereka sebenarnya mau turun di Balaraja. Tapi, karena ada patroli PJR, sopir menurunkan mereka di atas terowongan tol. Dan kebetulan sudah petang, mereka salat Magrib di masjid. Karena dicurigai sebagai teroris, mereka ditanyai warga kampung dan aparat desa,'' tandas Budhi. (don/sur/jpnn/ruk)
Polres Gianyar menginterogasi lelaki berjenggot Rabu malam lalu (19/8). Lelaki yang diketahui bernama Zaenal Abi, 24, asal Surabaya, Jawa Timur (Jatim), tersebut ditangkap saat melintas di Jalan By Pass Buruan, Blahbatuh. Masyarakat yang melihat orang yang mencurigakan itu langsung menghubungi polisi. Zaenal pun dibawa ke kantor polisi.
Pahumas Polres Gianyar Kompol Gede Sujana yang mewakili Kapolres Gianyar AKBP Nyoman Astawa menyebutkan, polisi menanyakan identitas dan tujuan yang bersangkutan datang ke Gianyar. ''Dia mengaku salah arah hingga sampai ke Gianyar. Dia sempat bekerja di Jimbaran, Badung," kata Sujana.
Mantan Kapolsek Ubud dan Kasatintelkam itu mengungkapkan, Zaenal sudah hampir lima bulan berada di Pulau Dewata. ''Dia mengaku dihubungi seseorang dan ditawari bekerja di Gianyar. Saat sampai di Gianyar, dia kehilangan kontak,'' tegasnya.
Sebelum ditangkap polisi, lanjut Sujana, Zaenal sempat berkunjung ke Masjid Agung di Jalan Ksatrian Gianyar. Saat mendatangi masjid di selatan Kodim/1616 Gianyar itu, karena dianggap mencurigakan, Zaenal langsung diusir penjaga masjid.
''Setelah yang bersangkutan dimintai keterangan dan tidak terbukti terlibat jaringan teroris, kami membebaskannya. Kini dia sudah dikembalikan kepada keluarganya di Denpasar,'' terang Sujana.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu, jajaran Polres Gianyar membubarkan pertemuan yang kebanyakan dihadiri pria berjenggot di barat Balai Budaya Gianyar. Tapi, setelah dilakukan pemeriksaan, mereka ternyata berkumpul dalam rangka pengobatan.
Pasca ledakan bom JW Marriott dan Ritz-Carlton, polisi meningkatkan pengamanan. Bahkan, kampung turis Ubud terus diamati untuk mengantisipasi serangan teroris yang selalu menjadikan orang asing sebagai target ledakan.
Di Serang, provinsi Banten kekhawatiran terhadap teroris memunculkan kecurigaan berlebihan yang cenderung paranoid. Itu terjadi di Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Serang, Rabu malam (19/8). Warga curiga terhadap sepasang suami-istri yang salat di Masjid Al Barokah di Kampung Kadinding.
Kecurigaan itu didasarkan pada penampilan pasangan asal Balaraja, Tangerang, tersebut. Sang suami, Daud, mengenakan celana yang panjangnya sebatas mata kaki. Dagunya ditumbuhi janggut. Sementara, sang istri, Kasitri, bercadar. Perempuan itu menggandeng anaknya yang masih kecil.
Di puncak kecurigaan, warga mencecar pasangan tersebut dengan berbagai pertanyaan, setelah keduanya selesai salat Magrib. Tidak hanya itu, warga juga memeriksa tas bawaan pasutri tersebut.
Tidak puas dengan menginterogasi, warga melaporkan pasangan itu ke Polsek Cikande. Polsek Cikande yang menerima laporan tersebut membawa pasangan suami-istri itu ke Mapolsek Cikande. Kapolsek Cikande Ajun Komisaris Polisi (AKP) Budhi Batara pun membenarkan adanya kejadian yang tidak sepantasnya dialami Daud dan Kasitri tersebut.
Setelah menjalani pemeriksaan, tak lama kemudian Daud dan Kasitri dipulangkan. ''Mereka bukan teroris. Setelah kami cek, mereka memang benar warga Balaraja sesuai kartu identitas mereka,'' tegas Budhi.
Dia menilai, kecurigaan warga tersebut berlebihan. ''Selain pakaian yang dikenakan, warga mencurigainya sebagai teroris karena dua warga yang tinggal di Balaraja itu membawa tas besar. Warga mengira isinya bom,'' katanya.
Kepada polisi, Daud dan istrinya menjelaskan bahwa mereka kebetulan berada di kampung tersebut. Mereka sebenarnya berniat pulang ke Balaraja setelah urusan mereka di Bekasi selesai.
Namun, pengemudi bus ''memaksa'' mereka turun di atas terowongan tol Tangerang-Merak yang berada persis di Kampung Kadinding. Alasannya, sopir bus tidak berani menurunkan mereka di tol Balaraja, mengingat ada petugas Patroli Jalan Raya (PJR).
''Mereka sebenarnya mau turun di Balaraja. Tapi, karena ada patroli PJR, sopir menurunkan mereka di atas terowongan tol. Dan kebetulan sudah petang, mereka salat Magrib di masjid. Karena dicurigai sebagai teroris, mereka ditanyai warga kampung dan aparat desa,'' tandas Budhi. (don/sur/jpnn/ruk)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sikap
yang semacam ini yang menjadikan masyarakat semakin salah dalam berpikir dan
memahami yang sesungguhnya, aparat yang seharusnya menjadi penegah atau sebagai
pihak yang dapat meluruskan pemahaman ini malah balik menuding mereka, sama
halnya dengan masyarakat yang lain. Bahkan dalam kalimat ini :
“Tidak
puas dengan menginterogasi, warga melaporkan pasangan itu ke Polsek Cikande.
Polsek Cikande yang menerima laporan tersebut membawa pasangan suami-istri itu
ke Mapolsek Cikande. Kapolsek Cikande Ajun Komisaris Polisi (AKP) Budhi Batara
pun membenarkan adanya kejadian yang tidak sepantasnya dialami Daud dan Kasitri
tersebut.
Setelah menjalani pemeriksaan, tak lama kemudian Daud dan Kasitri dipulangkan. ''Mereka bukan teroris. Setelah kami cek, mereka memang benar warga Balaraja sesuai kartu identitas mereka,'' tegas Budhi.
Dia menilai, kecurigaan warga tersebut berlebihan. ''Selain pakaian yang dikenakan, warga mencurigainya sebagai teroris karena dua warga yang tinggal di Balaraja itu membawa tas besar. Warga mengira isinya bom,'' katanya.
Kepada polisi, Daud dan istrinya menjelaskan bahwa mereka kebetulan berada di kampung tersebut. Mereka sebenarnya berniat pulang ke Balaraja setelah urusan mereka di Bekasi selesai.
Namun, pengemudi bus ''memaksa'' mereka turun di atas terowongan tol Tangerang-Merak yang berada persis di Kampung Kadinding. Alasannya, sopir bus tidak berani menurunkan mereka di tol Balaraja, mengingat ada petugas Patroli Jalan Raya (PJR).”
Setelah menjalani pemeriksaan, tak lama kemudian Daud dan Kasitri dipulangkan. ''Mereka bukan teroris. Setelah kami cek, mereka memang benar warga Balaraja sesuai kartu identitas mereka,'' tegas Budhi.
Dia menilai, kecurigaan warga tersebut berlebihan. ''Selain pakaian yang dikenakan, warga mencurigainya sebagai teroris karena dua warga yang tinggal di Balaraja itu membawa tas besar. Warga mengira isinya bom,'' katanya.
Kepada polisi, Daud dan istrinya menjelaskan bahwa mereka kebetulan berada di kampung tersebut. Mereka sebenarnya berniat pulang ke Balaraja setelah urusan mereka di Bekasi selesai.
Namun, pengemudi bus ''memaksa'' mereka turun di atas terowongan tol Tangerang-Merak yang berada persis di Kampung Kadinding. Alasannya, sopir bus tidak berani menurunkan mereka di tol Balaraja, mengingat ada petugas Patroli Jalan Raya (PJR).”
Hal
seperti ini sudah dapat dikatan telah melanggar HAM, mereka dicurigai
selayaknya tersangka, padahal mereka bukan siapa – siapa.
“Setelah
peristiwa pengeboman Mega Kuningan 17 Juli 2009, polisi mulai melancarkan
operasi penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris. Seperti kemarin
baru saja kita saksikan penyergapan di Jatiasih dan Temanggung yang
dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Dalam penyergapan tersebut
diduga bahwa kepolisian telah berhasil menewaskan pelaku teroris nomor satu di
negeri ini yaitu Noordin M Top, yang berkewanegaraan Malaysia. Di samping itu,
kita lihat di beberapa tempat polisi juga melakukan raziah dengan tujuan untuk
mencari orang-orang yang diduga teroris.
Namun bukanlah peristiwa ini yang kami sayangkan. Yang kami risaukan adalah tanggapan masyarakat saat ini mengenai orang - orang yang berpenampilan sama dengan pelaku - pelaku pengeboman. Sejak masa Amrozi dan Ali Imron dulu, sebagian orang memiliki anggapan bahwa orang-orang yang berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki adalah orang-orang yang sekelompok dengan Noordin cs. Atau istri-istri mereka yang mengenakan cadar dituduh sebagai istri para teroris. Jadi, belum tentu orang yang berpenampilan dengan celana di atas mata kaki atau berjenggot adalah teroris atau temannya teroris atau sekomplotan dengan teroris. Tidak otomatis dari penampilan semata seseorang bisa dituduh teroris. “ LINK
Namun bukanlah peristiwa ini yang kami sayangkan. Yang kami risaukan adalah tanggapan masyarakat saat ini mengenai orang - orang yang berpenampilan sama dengan pelaku - pelaku pengeboman. Sejak masa Amrozi dan Ali Imron dulu, sebagian orang memiliki anggapan bahwa orang-orang yang berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki adalah orang-orang yang sekelompok dengan Noordin cs. Atau istri-istri mereka yang mengenakan cadar dituduh sebagai istri para teroris. Jadi, belum tentu orang yang berpenampilan dengan celana di atas mata kaki atau berjenggot adalah teroris atau temannya teroris atau sekomplotan dengan teroris. Tidak otomatis dari penampilan semata seseorang bisa dituduh teroris. “ LINK
Dari
kata diatas yang dicetak tebal, masyarakat Indonesia masih selalu memandang
seseorang dari penampilan luar, ada pepatah “don’t judge the book from the
cover” tampaknya belum dipahami betul oleh masyarakat. Salahkah mereka bila
mereka ingin menunjukkan identitas mereka seperti itu ? tidak. Ini Negara
demokrasi, semua bebas bersekspresi… Seperti artikel dibawah ini : Sumber
“Ada
bebrapa ciri ciri teroris yang di gelembungkan oleh masyarakat ( hasil dari
kontruksi oleh masyarakat ) menerangkan 3 ciri umum teroris , yaitu
: Berjenggot, Bersurban dan Istri yang Bercadar. hahahah rasanya ini lah
salah satu “Modus Operandi” yang sengaja membuat masyarakat kita krisis
dalam beridentitas dan berkebudayaan. hah ??? kok bisa ??? memang negri kita
ini kaya dengan manusia yang krisis terhadap identitas dan kepribadian
berbangsa dan berbudaya…, ck ck ck ck …. pengin pakai jilbab takut disangka
istri teroris, pakai pakean seksi diperkosa orang (sukurin) , yang cowo
mau pake jenggot takut di sangka teroris, ga pake jenggot atau berkumis
doang takut di katakan kapir…(emang enak ??) hahhahah aneh saja manisia
sekarang ini , ruang mencari identitas diri sudah semakin sempit dan
terkurung oleh banyaknya stigma yang sengaja di bentuk oleh masyarakat ( baca :
masyarakat penjajah ) bagaimana kita bisa berkepribadian dalam berbudaya ,
bagaimana kita bisa menjadikan diri kita berkreatif dan penuh inovasi untuk
membangun potensi diri sendiri ?
Bagai
mana kita bisa beridentitas ?? jawabnya adalah jadikan diri kita sebagai sosok
manusia yang ber ideologi / manusia yang ideologis tentunya tidak
mengkesampingkan bahwa akan ada nya pengaruh dari ideologi ideologi yang sudah
berkembang sekarang ini, tapi juga tidak menafikkan bahwa kita mampu berbuat
ideologis sesuai dengan ideologi yang kita punya sendiri. yaitu ideologi yang
muncul dari dalam diri sendiri hasil dari Setiap perbuatan kita yang kita
evaluasi dan membuahkan rencana perbuatan selanjutnya. lantas bolehkan kita
berdieologi sedacara radikal tanpa melihat nilai nilai budaya dan kerarifan
lokal yang ada dalam masyarakat?? tentunya itu pilihan kita untuk menentukan.
secara pribadi aku memilih untuk tidak bertentangan dengan kebudayaan dan
kearifan lokal yang sudah ada.
Lho
kalo begitu kita masih belum bebas dari stigma yang di konstruk atau di bentuk
oleh masayarakat dong ?? eiitt tunggu dulu … stigma masyarakat cenderung
melakukan aksinya tanpa melihat kondisi seutuhnya, misal masyarakat cenderung
membenci orang orang yang bertato karena dulu mantan Narapidana selalu bertatto
, memang banyak dari kalangan kita yang membenci para mantan narapidana,
sekarang kalo saya bertanya, para narapidana Tipikor pada bertato kah dalam
badanya?? Para tahanan cabul nan eksibisonis yang menbuat Video Sex nya sendiri
bertatokah mereka? Stigma cenderung subyektif dan kemudian dipropagandakan
untuk kepentingan tertentu oleh pihak tertentu pula, nah lu maukan anda dimanfaatkan
oeleh pihak tertentu itu ?? terserah pilihan kamlian saya tidak akan ikut
campur.
Walaupun
aku tidak bertato aku bisa bilang bahwa itu sudah lah sangat salah karena
sekarang ini tatto menjadi seni lukis di atas kanvas kulit yang menjadi nilai
seni indah yang menpunyai komoditi cukup lumayan. Sedangkan Budaya dan Kearifan
lokal yang sudah kita warisi dari nilai nilai yang lurur bentukan oleh nenek
moyang kita dan pasti sudah menjadi nilai yang tentu dapat di
pertanggungjawabkan secara moral.
saranku
ya ..merdekakan diri kalian dah, untuk mencari identitas dan kepribadian diri
sendiri jangan tergantung dengan materi yang ada diluar badanmu atau
selamanya kalian tidak akan pernah merdeka untuk diri kalian sendiri. “
==================================================================================================================================================
Artikel
ini mengingatkan kita, janganlah menuduh seseorang dari penampilan luar saja,
karena dari hal itu dapat menyebabkan salah paham, bahkan lebih besar lagi
dampaknya. Seorang perempuang bercadar berkomentar tentang sebuah kejadian.
Seorang ibu berjilbab menangis ketika anaknya meninggal akibat terorisme.
Seorang Ayah berjenggot dengan tenang menceritakan kejadiannya anaknya. Mungkin
ada kesan “ngeri” ketika melihat orang yang bercadar dan berjenggot. Haruskan
terorisme dihubungkan dengan simbol-simbol seperti itu. Bahkan karena
kekhawatiran yang ada pihak-pihak tertentu mencurigai orang-orang seperti
mereka. Pada intinya, banyak paradigma yang salah di mata masyarakat
yang harus diluruskan. Kembali lagi pada hakikatnya, Paradigma, pandangan,
persepsi itulah kata bermakna sama yang sering
kita jumpai dalam keseharian. Setiap hari kita tentu memiliki banyak
paradigma/pandangan terhadap sesuatu maupun orang dalam dunia ini.
Tergambar jelas dari bagaimana sebuah respon kita berikan. Begitu
banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan
duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita
mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan
kepada bawahan di kantor, penampilan orang lain, kebiasaan yang
dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang
seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisi
tersebut. Baik atau buruknya sebuah respon yang kita berikan bergantung
bagaimana persepsi yang berada di otak kepala.
Pahamilah paradigma dan karakter adalah dua sisi yang saling mengikat
satu sama lain. Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa
kita. Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Dan kita tidak
bisa mengubah dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah
keberadaan kita, dan sebaliknya.
Paradigma kita adalah sumber dari mana sikap dan perilaku kita mengalir.
Paradigma sama seperti kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat
segala sesuatu dalam hidup kita. Bila kita melihat sesuatu melalui
paradigma prinsip yang benar, apa yang kita lihat dalam hidup akan
berbeda secara dramatis dengan apa yang kita lihat melalui paradigma
dengan pusat yang lain.
Sementara kita mengembangkan paradigma yang memberdaya kita untuk
melihat melalui lensa kepentingan ketimbang kegentingannya, kita akan
meningkatkan kemampuan kita untuk mengorganisasi dan melaksanakan setiap
minggu dari hidup kita di sekitar prioritas kita yang lain, untuk
menjalani apa yang kita katakan. Kita tidak akan bergantung pada orang
lain atau benda apa pun untuk manajemen yang efektif atas hidup kita. Perubahan paradigma mengubah kita ke arah yang positif atau negatif,
entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma menggerakan
dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain. Dan perubahan paradigma
tersebut menghasilkan perubahan yang kuat. Paradigma kita, benar atau
salah, adalah sumber dari sikap dari perilaku kita, dan akhirnya sumber
dari segala hubungan kita dengan orang lain.
kita jumpai dalam keseharian. Setiap hari kita tentu memiliki banyak
paradigma/pandangan terhadap sesuatu maupun orang dalam dunia ini.
Tergambar jelas dari bagaimana sebuah respon kita berikan. Begitu
banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan
duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita
mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan
kepada bawahan di kantor, penampilan orang lain, kebiasaan yang
dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang
seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisi
tersebut. Baik atau buruknya sebuah respon yang kita berikan bergantung
bagaimana persepsi yang berada di otak kepala.
Pahamilah paradigma dan karakter adalah dua sisi yang saling mengikat
satu sama lain. Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa
kita. Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Dan kita tidak
bisa mengubah dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah
keberadaan kita, dan sebaliknya.
Paradigma kita adalah sumber dari mana sikap dan perilaku kita mengalir.
Paradigma sama seperti kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat
segala sesuatu dalam hidup kita. Bila kita melihat sesuatu melalui
paradigma prinsip yang benar, apa yang kita lihat dalam hidup akan
berbeda secara dramatis dengan apa yang kita lihat melalui paradigma
dengan pusat yang lain.
Sementara kita mengembangkan paradigma yang memberdaya kita untuk
melihat melalui lensa kepentingan ketimbang kegentingannya, kita akan
meningkatkan kemampuan kita untuk mengorganisasi dan melaksanakan setiap
minggu dari hidup kita di sekitar prioritas kita yang lain, untuk
menjalani apa yang kita katakan. Kita tidak akan bergantung pada orang
lain atau benda apa pun untuk manajemen yang efektif atas hidup kita. Perubahan paradigma mengubah kita ke arah yang positif atau negatif,
entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma menggerakan
dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain. Dan perubahan paradigma
tersebut menghasilkan perubahan yang kuat. Paradigma kita, benar atau
salah, adalah sumber dari sikap dari perilaku kita, dan akhirnya sumber
dari segala hubungan kita dengan orang lain.
beberapa
contoh paradigma lain yang salah... : Sumber
1. “Kalau
kerja jangan jujur-jujur, nanti nggak dapat bagian”
Mari kita ubah “Kalau kerja itu yang jujur…jujur…jujur..biar dapat bagian yang lebih banyak”
2. “Sekarang cari yang halal saja susah, apalagi cari yang haram”
Mari kita ubah : “Sekarang cari yang halal itu mudah…semakin mudah…semakin mudah…hingga yang haram hilang” wusssssssh…..
3. “Ayo kerja yang keras, supaya dapat hasil banyak”
Mari kita ubah : “Ayo kerja yang luwes, supaya dapat hasil banyak” …..Mas Nunu bilang “Enjoy your lifes and works”
4. “Jangan makan brutu (bagian ekor) ayam, nanti cepat lupa”
Mari kita ubah : “Makanlah brutu (bagian ekor) ayam, nanti ingatan kita semakin kuat…kuat…kuat” wuuuusssssssshhhhhhh
5. Jangan biasakan mengumpat kepada orang lain, apalagi mengumpat kepada ALLAH
Kalau sudah terlanjur, cepat-cepat diubah… STOP jangan lakukan itu…cancel…cancel…cancel… ctrl-alt-del… ctrl-alt-del… ctrl-alt-del…amit-amit jangan terjadi…
6. Selesai berdoa, jangan tundukkan kepala, seperti orang yang putus asa
tegakkan kepala, tersenyum, dan kepalkan tangan ….ALHAMDULILLAH ….yesssss….
7. Hilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif dalam lingkungan kita, seperti ngegosip, bercengkerama hal-hal yang tidak bermanfaat, baca berita-berita gosip, berita-berita menyedihkan
Lihat hal-hal yang positif mis. Pemandangan, wajah Mas Nunu, orang-orang yang berhasil, kumpul dengan orang-orang yang punya pikiran positif, masuk mail list
8. Doa jangan diulang-ulang, kalau perlu diulang sebaiknya hanya tiga kali, selanjutnya selesai doa yang satu…doa lagi yang lain…doa lagi yang lain…begitu seterusnya hingga doa kita yang pertama tertutupi dan bahkan kita lupa pada doa itu
9. Ibadah yang kurang istiqomah / continue, mis. Sholat kadang tepat waktu, kadang telat, ubah kebiasaan ini menjadi ibadah yang istiqomah / continue dan terus menerus, untuk laki-laki sebaiknya sholat di masjid / mushollah
Mari kita ubah “Kalau kerja itu yang jujur…jujur…jujur..biar dapat bagian yang lebih banyak”
2. “Sekarang cari yang halal saja susah, apalagi cari yang haram”
Mari kita ubah : “Sekarang cari yang halal itu mudah…semakin mudah…semakin mudah…hingga yang haram hilang” wusssssssh…..
3. “Ayo kerja yang keras, supaya dapat hasil banyak”
Mari kita ubah : “Ayo kerja yang luwes, supaya dapat hasil banyak” …..Mas Nunu bilang “Enjoy your lifes and works”
4. “Jangan makan brutu (bagian ekor) ayam, nanti cepat lupa”
Mari kita ubah : “Makanlah brutu (bagian ekor) ayam, nanti ingatan kita semakin kuat…kuat…kuat” wuuuusssssssshhhhhhh
5. Jangan biasakan mengumpat kepada orang lain, apalagi mengumpat kepada ALLAH
Kalau sudah terlanjur, cepat-cepat diubah… STOP jangan lakukan itu…cancel…cancel…cancel… ctrl-alt-del… ctrl-alt-del… ctrl-alt-del…amit-amit jangan terjadi…
6. Selesai berdoa, jangan tundukkan kepala, seperti orang yang putus asa
tegakkan kepala, tersenyum, dan kepalkan tangan ….ALHAMDULILLAH ….yesssss….
7. Hilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif dalam lingkungan kita, seperti ngegosip, bercengkerama hal-hal yang tidak bermanfaat, baca berita-berita gosip, berita-berita menyedihkan
Lihat hal-hal yang positif mis. Pemandangan, wajah Mas Nunu, orang-orang yang berhasil, kumpul dengan orang-orang yang punya pikiran positif, masuk mail list
8. Doa jangan diulang-ulang, kalau perlu diulang sebaiknya hanya tiga kali, selanjutnya selesai doa yang satu…doa lagi yang lain…doa lagi yang lain…begitu seterusnya hingga doa kita yang pertama tertutupi dan bahkan kita lupa pada doa itu
9. Ibadah yang kurang istiqomah / continue, mis. Sholat kadang tepat waktu, kadang telat, ubah kebiasaan ini menjadi ibadah yang istiqomah / continue dan terus menerus, untuk laki-laki sebaiknya sholat di masjid / mushollah
Contoh
lainnya tentang paradigma yang salah di bidang advokasi : Sumber
Yogyakarta
- Dalam masyarakat terdapat pandangan yang keliru terhadap paradigma advokat
selama ini. Misalnya, advokat harus membela kliennya agar terbebas dari
tuntutan hukum, meski kliennya sesungguhnya bersalah.
Dan, dari advokat sendiri sulit ditemukan yang mau meminta hakim agar menghukum kliennya karena memang bersalah. Sebaliknya, advokat selalu minta kliennya dibebaskan tanpa mempertimbangkan kesalahan klien.
Meski hal itu memprihatinkan, tapi Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PAI), Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M., di Fakultas Hukum UGM, mengaku bisa memahami. Karena seorang advokat di satu sisi menerima bayaran dari klien sehingga ia bertindak untuk dan atas nama klien. Di sisi lain, seorang advokat adalah penegak hukum yang harus membela kebenaran dan keadilan.
"Saya kira kita sudah sama-sama mengetahui permasalahan ini. Tapi lembaga penegak hukum termasuk Fakultas Hukum tidak pernah menilai permasalahan ini sebagai persoalan yang hakiki dan serius sehingga tidak pernah diupayakan untuk mengubah paradigma tersebut," kata dia.
Menurut Otto permasalahan ini sebagai salah satu akar gagalnya penegakan hukum oleh advokat. Seandainya paradigma ini bisa diubah, advokat tentu tidak akan tunduk pada permintaan kliennya dan akan membela demi kebenaran, bukan demi klien yang membayarnya.
Dia lalu menyarankan Fakultas Hukum harus mampu memberikan peringatan dini tentang paradigma ini kepada para mahasiswanya. Jika tidak disampaikan, para mahasiswa hukum mestinya akan terpengaruh dan mengikuti sepak terjang para penegak hukum yang dilihatnya di televisi, di media cetak, dan elektronik. "Sebagaimana yang sering kita lihat akhir-akhir ini.”
Di samping itu, ia juga menilai jaksa memiliki pemahaman atau paradigma yang salah tentang "penunututan". Seorang jaksa saat melakukan penuntutan sesungguhnya dilakukan demi tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.
''Apabila seorang terdakwa tidak bersalah, haruslah dibebaskan. Namun, dalam proses penuntutan, tanpa disadari jaksa selalu mencari-cari kesalahan terdakwa tanpa mau mempertimbangkan kebenarannya,'' ujarnya sembari menambahkan, bagi seorang jaksa, seorang terdakwa haruslah dituntut untuk dihukum meskipun tidak bersalah. ''Sulit kita temukan saat ini jaksa menuntut bebas terdakwa karena diyakini tidak bersalah," kata Otto.(wok)
Dan, dari advokat sendiri sulit ditemukan yang mau meminta hakim agar menghukum kliennya karena memang bersalah. Sebaliknya, advokat selalu minta kliennya dibebaskan tanpa mempertimbangkan kesalahan klien.
Meski hal itu memprihatinkan, tapi Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PAI), Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M., di Fakultas Hukum UGM, mengaku bisa memahami. Karena seorang advokat di satu sisi menerima bayaran dari klien sehingga ia bertindak untuk dan atas nama klien. Di sisi lain, seorang advokat adalah penegak hukum yang harus membela kebenaran dan keadilan.
"Saya kira kita sudah sama-sama mengetahui permasalahan ini. Tapi lembaga penegak hukum termasuk Fakultas Hukum tidak pernah menilai permasalahan ini sebagai persoalan yang hakiki dan serius sehingga tidak pernah diupayakan untuk mengubah paradigma tersebut," kata dia.
Menurut Otto permasalahan ini sebagai salah satu akar gagalnya penegakan hukum oleh advokat. Seandainya paradigma ini bisa diubah, advokat tentu tidak akan tunduk pada permintaan kliennya dan akan membela demi kebenaran, bukan demi klien yang membayarnya.
Dia lalu menyarankan Fakultas Hukum harus mampu memberikan peringatan dini tentang paradigma ini kepada para mahasiswanya. Jika tidak disampaikan, para mahasiswa hukum mestinya akan terpengaruh dan mengikuti sepak terjang para penegak hukum yang dilihatnya di televisi, di media cetak, dan elektronik. "Sebagaimana yang sering kita lihat akhir-akhir ini.”
Di samping itu, ia juga menilai jaksa memiliki pemahaman atau paradigma yang salah tentang "penunututan". Seorang jaksa saat melakukan penuntutan sesungguhnya dilakukan demi tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.
''Apabila seorang terdakwa tidak bersalah, haruslah dibebaskan. Namun, dalam proses penuntutan, tanpa disadari jaksa selalu mencari-cari kesalahan terdakwa tanpa mau mempertimbangkan kebenarannya,'' ujarnya sembari menambahkan, bagi seorang jaksa, seorang terdakwa haruslah dituntut untuk dihukum meskipun tidak bersalah. ''Sulit kita temukan saat ini jaksa menuntut bebas terdakwa karena diyakini tidak bersalah," kata Otto.(wok)
Contoh
paradigm keliru tentang pekerjaan : LINK
Beberapa
teman yang memutuskan untuk berhenti bekerja beberapa tahun yang lalu, kini
mengalami kesulitan keuangan dan kembali ke perusahaan lama untuk melamar
kembali walau hanya menjadi pegawai kontrak.
Kesulitan-kesulitan dan keterpurukan mereka setelah lepas dari menjadi pegawai tersebut disebabkan oleh berbagai factor antara lain adalah ketidak siapan mereka dengan segala resikonya untuk menjadi wirausaha, dan terutama adalah paradigm yang keliru pada awalnya mereka memutuskan untuk berhenti dari bekerja.
Paradigm yang keliru itu adalah:
Kesulitan-kesulitan dan keterpurukan mereka setelah lepas dari menjadi pegawai tersebut disebabkan oleh berbagai factor antara lain adalah ketidak siapan mereka dengan segala resikonya untuk menjadi wirausaha, dan terutama adalah paradigm yang keliru pada awalnya mereka memutuskan untuk berhenti dari bekerja.
Paradigm yang keliru itu adalah:
1. Pertentangan
batin
Pertentangan batin di dalam pekerjaan disebabkan banyak hal, antara lain adalah alasan bahwa pekerjaan tidak sesuai dengan agama, teman sekerja yang tidak cocok, atasan yang selalu mendikte, peraturan perusahaan yang terlihat merugikan.
Apabila pertentangan batin ini yang menyebabkan anda berhenti bekerja, marilah kita tanyakan lagi, apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah pertentangan batin anda?
2. Gaji tidak cukup
Berhenti bekerja karena alasan bahwa gaji anda saat ini tidak cukup justru akan menyiksa anda. Ketika anda berhenti bekerja dan menjadi wirausaha bakalan membawa kenyataan bahwa segala fasilitas akan hilang dan tahun-tahun pertama usaha adalah tahun dimana pendapatan anda tidak akan sebesar ketika anda bekerja
3. Bosan jadi karyawan
Rasa bosan adalah rasa tidak nyaman. Bosan jadi karyawan adalah tindakan untuk menghindari rasa tidak nyaman dan mencari kenyamanan baru. Apabila anda bosan jadi karyawan, anda juga akan mempunyai rasa bosan nantinya menjadi apapun juga selain jadi karyawan. Anda bosan menghadapi tantangan, anda bosan menghadapi persaingan, anda bosan mengelola usaha sendiri.
4. Ikut – ikutan
Banyak orang yang besar keinginan keluar dari pekerjaan karena ikut-ikutan. Mereka baru saja membaca buku ‘menjadi pengusaha’, baru saja ikut training atau seminar pengusaha, atau baru saja mendengar kisah orang yang berhasil setelah keluar dari pekerjaan.
Ini adalah alasan yang parah dan emosional.
Mari kita ingat kembali, apakah emosi anda keluar dari pekerjaan disebabkan oleh buku, oleh seminar dan training, atau oleh cerita orang lain?
Marilah kita atur ulang dan kita kembalikan kembali pardigma anda untuk memutuskan keluar dari pekerjaan, sehingga anda benar-benar siap untuk berhenti bekerja dan dapat menghadapi segala macam tantangan yang ada.
Apakah ketika anda memutuskan keluar dari pekerjaan membawa salah satu paradigm salah tersebut? Apabila iya, sebelum terlambat segera perbaiki dan rumuskan ulang tujuan anda!
Pertentangan batin di dalam pekerjaan disebabkan banyak hal, antara lain adalah alasan bahwa pekerjaan tidak sesuai dengan agama, teman sekerja yang tidak cocok, atasan yang selalu mendikte, peraturan perusahaan yang terlihat merugikan.
Apabila pertentangan batin ini yang menyebabkan anda berhenti bekerja, marilah kita tanyakan lagi, apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah pertentangan batin anda?
2. Gaji tidak cukup
Berhenti bekerja karena alasan bahwa gaji anda saat ini tidak cukup justru akan menyiksa anda. Ketika anda berhenti bekerja dan menjadi wirausaha bakalan membawa kenyataan bahwa segala fasilitas akan hilang dan tahun-tahun pertama usaha adalah tahun dimana pendapatan anda tidak akan sebesar ketika anda bekerja
3. Bosan jadi karyawan
Rasa bosan adalah rasa tidak nyaman. Bosan jadi karyawan adalah tindakan untuk menghindari rasa tidak nyaman dan mencari kenyamanan baru. Apabila anda bosan jadi karyawan, anda juga akan mempunyai rasa bosan nantinya menjadi apapun juga selain jadi karyawan. Anda bosan menghadapi tantangan, anda bosan menghadapi persaingan, anda bosan mengelola usaha sendiri.
4. Ikut – ikutan
Banyak orang yang besar keinginan keluar dari pekerjaan karena ikut-ikutan. Mereka baru saja membaca buku ‘menjadi pengusaha’, baru saja ikut training atau seminar pengusaha, atau baru saja mendengar kisah orang yang berhasil setelah keluar dari pekerjaan.
Ini adalah alasan yang parah dan emosional.
Mari kita ingat kembali, apakah emosi anda keluar dari pekerjaan disebabkan oleh buku, oleh seminar dan training, atau oleh cerita orang lain?
Marilah kita atur ulang dan kita kembalikan kembali pardigma anda untuk memutuskan keluar dari pekerjaan, sehingga anda benar-benar siap untuk berhenti bekerja dan dapat menghadapi segala macam tantangan yang ada.
Apakah ketika anda memutuskan keluar dari pekerjaan membawa salah satu paradigm salah tersebut? Apabila iya, sebelum terlambat segera perbaiki dan rumuskan ulang tujuan anda!
Contoh
paradigm yang keliru tentang buruh : LINK
JIKA
paradigma diumpamakan sebagai "kacamata" atau kerangka berpikir dalam
melihat suatu persoalan, maka "kacamata" yang selama ini dipakai para
penentu kebijakan bidang perburuhan justru membuat persoalan buruh menjadi
kabur, samar-samar bahkan tidak terlihat sama sekali. Banyak hal yang perlu
dikoreksi, ditata dan dibangun kembali dalam kerangka rekonstruksi pemikiran
dalam bidang yang menyangkut nasib banyak orang ini.
Pemerintah
memang telah sering-bahkan terlalu sering-menegaskan political will yang
baik dalam memperjuangkan nasib, mengangkat harkat dan memperbaiki nasib kaum
buruh. Sayangnya, (lagi-lagi) semua itu hanya di atas kertas belaka.
"Angin surga" dan secercah harapan bahwa kebijakan perburuhan akan
memihak pihak buruh lewat Kepmennaker No 150/ MEN/2000 pada akhirnya pun harus
mengalah pada kepentingan pihak pengusaha, dan atas nama pertumbuhan ekonomi
serta kepentingan nasional yang lebih luas versi pemerintah.
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa Kepmennaker No 150/MEN/2000-yang agak sedikit berpihak
pada pihak buruh-dalam praktik sering diacuhkan dan "tidak dianggap"
sama sekali oleh pengusaha. Tragis memang nasib buruh Indonesia, untuk
perlindungan hak-hak yang sudah dijamin oleh hukum positif tertulis pun masih
dianggap sepi. Entah apa yang akan terjadi terhadap nasib kaum buruh setelah
Kepmennaker ini dicabut dengan Kepmennaker No 78/MEN/ 2001 yang menghebohkan
itu.
Persoalan
perburuhan
Kepekaan
dan sensitivitas dalam memandang persoalan buruh sebagai persoalan multifaset,
yang menyangkut bidang politik, sosial dan ekonomi nasional diperlukan-lebih
dari memandang persoalan ini hanya sebatas menyangkut masalah "perut"
buruh belaka. Beberapa paradigma yang keliru dalam memandang masalah perburuhan
antara lain diuraikan sebagai berikut.
Pertama,
kebijakan perburuhan selama ini masih mencerminkan pihak buruh yang dipandang
sebatas faktor ekonomi saja, sebagai objek pencapaian keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, bagi pihak pengusaha,
sesuai prinsip ekonomi. Adalah wajar, jika pihak pengusaha sebagai employer-yang
menyediakan lapangan pekerjaan bagi buruh-mengharapkan return dari
modal yang dikeluarkannya untuk membuka usaha, berupa profit finansial. Tetapi,
menjadi tidak wajar, jika target keuntungan finansial itu berusaha diraih
dengan menghalalkan segala cara, menekan cost produksi
sekecil-kecilnya, dan mengabaikan kesejahteraan buruh sebagai manusia.
Sayangnya, suka atau tidak, diakui atau tidak, kasus-kasus pengabaian hak-hak
buruh sebagai manusia sering terjadi di Indonesia, yang "katanya"
berdasarkan Pancasila dan menempatkan asas "Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab" di dalamnya.
Kedua,
akibat lebih jauh dari "salah pandang"-di mana buruh hanya dilihat
sebagai faktor ekonomi semata-dapat diperkirakan, bahwa buruh pun diperlakukan
sebatas obyek. Yakni obyek untuk dinaikkan harkat dan martabatnya, obyek untuk
dilindungi hak-haknya (setidaknya secara teori), obyek untuk dikasihani dan
diberi simpati, bahkan lebih parah lagi sebagai obyek eksploitasi bagi
kepentingan politis segelintir oportunis yang ingin memanfaatkan gerakan kaum
buruh bagi kepentingan individu maupun kelompoknya.
Kerap
kali persoalan buruh menjadi termarjinalkan, tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia
perpolitikan atau persoalan ekonomi lainnya dan menjadi expendable jika
dihadapkan menurut skala prioritas dengan persoalan di bidang-bidang lain itu.
Ketiga,
kekeliruan lainnya adalah ketidakacuhan sebagian kelompok buruh akan perjuangan
kaumnya sendiri. Entah disadari atau tidak selama ini yang banyak bergerak melakukan
aksi-aksi "turun ke jalan" justru buruh yang dikelompokkan ke dalam blue
collar worker. Memang, kepedulian dan solidaritas akan nasib buruh tidak harus
dan tidak selalu perlu ditunjukkan dengan aksi pengerahan massa besar-besaran,
yang kadang malahan memberi kesan sebagai unfriendly movement bagi
sebagian kalangan masyarakat terhadap aksi kaum buruh yang beberapa
dimanfaatkan oleh oknum untuk merusak sarana serta fasilitas publik. Namun,
kaum buruh yang masuk dalam kelompok white collar worker pun
setidaknya harus mau menunjukkan dukungan, slidaritas, dan rasa senasib
sepenanggungan-dengan cara yang mereka anggap paling sesuai tentunya-karena
semodis apa pun pakaian yang mereka pakai saat bekerja, semegah apa pun gedung
tempat mereka bekerja dan setinggi apa pun gaji juga posisi mereka, selama
mereka masih bekerja pada orang lain, untuk melakukan pekerjaan tertentu, di
bawah perintah, dengan menerima upah, dalam waktu tertentu-sesuai ketentuan
perundangan tentang perburuhan yang ada entah itu blue collar atau white
collar juga termasuk sebagai buruh, yang juga menerima "getah"
dari ketentuan perburuhan yang berlaku.
Keempat,
hal lain yang perlu dikoreksi adalah menghapuskan anggapan sebagian orang bahwa
gerakan buruh hanya mengganggu stabilitas dan sekadar aksi protes belaka. Sulit
menilai apakah suatu protes atau tuntutan yang disuarakan memang proporsional
atau tidak, namun pihak buruh pun (khususnya penggerak aksi-aksi buruh) harus
pula melakukan intropeksi dan memeriksa "kacamata" mereka terhadap hubungannya
dengan pihak majikan. Secara teori (juga praktik) pihak buruh memang menjadi
sub-ordinat pihak majikan, namun tidak sedikit pula pihak majikan-dalam hal ini
sebagai employer-yang sudah sadar serta tercerahkan untuk selalu berusaha
memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
Apabila
pihak buruh menuntut terlalu banyak atau expect too much, lebih dari yang
menjadi hak-haknya, justru menjadi bumerang bagi pihak buruh dan gerakan
mereka. Ini tidak berarti menyalahkan buruh yang memperjuangkan hak-hak mereka
yang belum dipenuhi-yang memang harus diperjuangkan-tetapi bahwa buruh pun
harus sadar manakala hak-hak telah dipenuhi, jangan malahan mengabaikan
kewajibannya.
Penutup
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk memihak kelompok tertentu, entah pihak buruh,
pengusaha atau pun pemerintah. Tetapi mencoba melihat persoalan perburuhan
secara obyektif. Banyak kekeliruan cara pandang atau paradigma sebagai
"kacamata" dalam memandang persoalan ini yang membuat kekusutan
benang yang ada semakin kusut.
Upaya
menguraikan benang kusut persoalan perburuhan harus dimulai dengan
merekonstruksi kembali paradigma dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang
masih ada. Setidak-tidaknya upaya ini harus dimulai dengan titik tolak yang
sama, bahwa buruh tidak semata-mata sebagai obyek tetapi sebagai subyek, dan
gerakan buruh harus dipandang bukan sebagai pengganggu stabilitas yang anti status
quo semata, atau sebatas menuntut perbaikan nasib dan hak-haknya,
melainkan untuk memandang buruh sebagai manusia sesuai prinsip-prinsip
universal kemanusiaan yang telah kita akui bersama.
Baik
pihak pengusaha, buruh maupun pemerintah harus bersikap legowo untuk
memeriksa kembali melalui refleksi, apakah "kacamata" mereka masih
sesuai atau tidak. Hal ini penting untuk mencegah bermacam prejudice,
stigma, stereotip atau sikap apriori masing-masing pihak satu sama lain yang
selama ini mengemuka-yang justru membuat benang kusut persoalan perburuhan
menjadi semakin ruwet-dalam semangat kesatuan, persatuan dan kepentingan
nasional yang hakiki dan murni, tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar