Kamis, 17 November 2011

Paradigma yang Salah dan Dianggap Sebagai Kebenaran Pada Masyarakat


Begitu banyak anggapan – anggapan yang salah dan terdapat di masyarakat luas, banyak yang menganggapnya bahkan sebagai suatu kebenaran dan menjadikannya sebagai suatu tolak ukur dalam menentukan sesuatu. Padahal jika ditelaah lebih jauh, anggapan yang mereka anggap benar itu merupakan sebuah kesalahan atau kekeliruan. Pemahaman seperti itu atau yang biasa disebut dengan paradigma adalah sebuah pemikiran atau pemahaman tentang sesuatu dan dapat “mendoktrin” seseorang untuk selalu berpikir seperti itu. Hal ini sebenarnya sama saja seperti sebuah salah paham, dan dapat menimbulkan  perbedaan bahkan perpecahan. Sebagai contoh kecil, paradigma yang salah itu seperti ini. Banyak yang beranggapan bahwa hal – hal yang berhubungan dengan internet ataupun semacamnya selalu negatif karena mengandung hal-hal berbau pornografi, dan perjudian. Padahal internet itu adalah sebuah sumber informasi yang sangat besar, segala hal yang ingin kita ketahui bisa kita dapatkan disitu. Namun karena paradigma yang seperti itu tadi yang mengakibatkan masyarakat kurang kepeduliannya terhadap internet ini.  Bahaya sebuah paradigma bukan hanya dapat mempengaruhi seseorang tapi juga bahkan dapat mencakup dunia luas, ketakutan yang berlebihan dan bahkan dapat megacaukan sebuah Negara. Salah satu contoh yang akan saya bahas adalah paradigma masyarakat terhadap orang yang bercadar atau berjanggut dan memakai peci, mereka menganggap orang – orang yang berpakaian seperti itu adalah teroris. Apakah memang mereka tahu bahwa orang – orang seperti itu adalah benar – benar teroris ? tentu saja mereka tidak tahu. Mereka hanya terpaku pada satu pola pikir yang salah, paradigm yang salah. Mereka sudah “terdoktrinasi” oleh hal – hal semacam itu. Jadi apapun yang dianggapnya salah maka akan langsung “di-judge” salah. Padahal sebenarnya mereka itu tidak tahu apa – apa. Ujung – ujungnya mereka akan saling menuduh, berpikiran yang tidak – tidak. Dan justru yang menjadi korban adalah orang yang disangka seperti itu akan dikucilkan dan menjadi buangan di masyarakat. Paradigma ini harusnya diluruskan oleh siapa saja, bukan hanya masyarakat yang meluruskan, para aparat penegak hukum pun  juga harus melaksanakan, tapi apa yang terjadi. Para penegak hukum itu pun bahkan balik menuding bahwa mereka memang patut untuk dicurigai. Seperti yang dikutip dalam Kompas.com tanggal 26 Agustus 2009 berikut ini : Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com — Ajakan pihak kepolisian di sejumlah daerah agar masyarakat lebih waspada terhadap orang-orang dengan penampilan berjenggot dan berjubah menuai kontroversi. Sebab, sikap kewaspadaan terhadap kelompok dengan penampilan yang dianggap identik dengan teroris itu melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurut Komisioner Komnas HAM Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Saharudin Daming, tiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk membentuk karakter pribadinya, termasuk untuk berpenampilan berjenggot dan berjubah sebagaimana terdapat dalam agama Islam. Hak tersebut tidak dapat dibatasi apalagi dikurangi
"Jika polisi sudah masuk ke tahap waspada, apalagi sampai curiga, maka itu sudah melanggar HAM," kata Saharudin dalam diskusi "Waspada terhadap Orang Berjubah dan Berjanggut", di Jakarta, Rabu (26/8). 
Menurut dia, jenggot dan jubah tidak selalu identik dengan apa yang diprasangka dan menjadi stigmatisasi sebagian kalangan terhadap para pelaku terorisme. Ia menilai, dengan ajakan sikap kewaspadaan yang berlebihan tersebut, justru menunjukkan bahwa polisi tidak mengenal siapa sebenarnya kelompok-kelompok dalam jaringan terorisme.
"Jangan dengan gampang menjadikan suatu ciri sebagai stereotipe sebagai pelaku teror. Ini sama saja dengan menebar kebencian terhadap kelompok tertentu," ujarnya.
Ia juga mencontohkan kejadian beberapa waktu lalu di Cikupa, Tangerang, ketika seorang pria berjenggot dan berjubah dengan istrinya yang bercadar mendapatkan interogasi yang berlebihan dari warga karena penampilannya yang dianggap mirip teroris itu.
"Ini salah satu akibat dari sikap kewaspadaan yang tidak pada tempatnya. Jelas ini mengganggu kenyamanan seseorang dalam mengekspresikan martabat dirinya," kata Saharudin.
Ia juga meminta agar polisi meninggalkan sikap-sikap represif dalam menangani persoalan radikalisme semacam ini. Tindakan represif dan kekerasan justru akan memperluas radikalisme itu sendiri. Menurutnya, harus ada pendekatan yang sifatnya dialogis dan humanis untuk merangkul kelompok-kelompok yang berpotensi dekat dengan teroris.
"Cobalah undang dan ajak dialog kelompok-kelompok yang berjenggot dan berjubah. Apa yang sebenarnya mereka inginkan. Harus ada koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang diskriminatif," katanya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Begitu pula dengan berita yang ini : Sumber
GIANYAR - Sepak terjang lelaki berjenggot belakangan ini sedikit terbatas. Beberapa daerah menangkap -setidaknya mencurigai- mereka. Seperti yang terjadi di Buleleng dan Gianyar Bali.



Polres Gianyar menginterogasi lelaki berjenggot Rabu malam lalu (19/8). Lelaki yang diketahui bernama Zaenal Abi, 24, asal Surabaya, Jawa Timur (Jatim), tersebut ditangkap saat melintas di Jalan By Pass Buruan, Blahbatuh. Masyarakat yang melihat orang yang mencurigakan itu langsung menghubungi polisi. Zaenal pun dibawa ke kantor polisi.

Pahumas Polres Gianyar Kompol Gede Sujana yang mewakili Kapolres Gianyar AKBP Nyoman Astawa menyebutkan, polisi menanyakan identitas dan tujuan yang bersangkutan datang ke Gianyar. ''Dia mengaku salah arah hingga sampai ke Gianyar. Dia sempat bekerja di Jimbaran, Badung," kata Sujana.

Mantan Kapolsek Ubud dan Kasatintelkam itu mengungkapkan, Zaenal sudah hampir lima bulan berada di Pulau Dewata. ''Dia mengaku dihubungi seseorang dan ditawari bekerja di Gianyar. Saat sampai di Gianyar, dia kehilangan kontak,'' tegasnya.

Sebelum ditangkap polisi, lanjut Sujana, Zaenal sempat berkunjung ke Masjid Agung di Jalan Ksatrian Gianyar. Saat mendatangi masjid di selatan Kodim/1616 Gianyar itu, karena dianggap mencurigakan, Zaenal langsung diusir penjaga masjid.

''Setelah yang bersangkutan dimintai keterangan dan tidak terbukti terlibat jaringan teroris, kami membebaskannya. Kini dia sudah dikembalikan kepada keluarganya di Denpasar,'' terang Sujana.

Sebelumnya, beberapa waktu lalu, jajaran Polres Gianyar membubarkan pertemuan yang kebanyakan dihadiri pria berjenggot di barat Balai Budaya Gianyar. Tapi, setelah dilakukan pemeriksaan, mereka ternyata berkumpul dalam rangka pengobatan.

Pasca ledakan bom JW Marriott dan Ritz-Carlton, polisi meningkatkan pengamanan. Bahkan, kampung turis Ubud terus diamati untuk mengantisipasi serangan teroris yang selalu menjadikan orang asing sebagai target ledakan.

Di Serang, provinsi Banten kekhawatiran terhadap teroris memunculkan kecurigaan berlebihan yang cenderung paranoid. Itu terjadi di Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Serang, Rabu malam (19/8). Warga curiga terhadap sepasang suami-istri yang salat di Masjid Al Barokah di Kampung Kadinding.

Kecurigaan itu didasarkan pada penampilan pasangan asal Balaraja, Tangerang, tersebut. Sang suami, Daud, mengenakan celana yang panjangnya sebatas mata kaki. Dagunya ditumbuhi janggut. Sementara, sang istri, Kasitri, bercadar. Perempuan itu menggandeng anaknya yang masih kecil.

Di puncak kecurigaan, warga mencecar pasangan tersebut dengan berbagai pertanyaan, setelah keduanya selesai salat Magrib. Tidak hanya itu, warga juga memeriksa tas bawaan pasutri tersebut.

Tidak puas dengan menginterogasi, warga melaporkan pasangan itu ke Polsek Cikande. Polsek Cikande yang menerima laporan tersebut membawa pasangan suami-istri itu ke Mapolsek Cikande. Kapolsek Cikande Ajun Komisaris Polisi (AKP) Budhi Batara pun membenarkan adanya kejadian yang tidak sepantasnya dialami Daud dan Kasitri tersebut.

Setelah menjalani pemeriksaan, tak lama kemudian Daud dan Kasitri dipulangkan. ''Mereka bukan teroris. Setelah kami cek, mereka memang benar warga Balaraja sesuai kartu identitas mereka,'' tegas Budhi.

Dia menilai, kecurigaan warga tersebut berlebihan. ''Selain pakaian yang dikenakan, warga mencurigainya sebagai teroris karena dua warga yang tinggal di Balaraja itu membawa tas besar. Warga mengira isinya bom,'' katanya.

Kepada polisi, Daud dan istrinya menjelaskan bahwa mereka kebetulan berada di kampung tersebut. Mereka sebenarnya berniat pulang ke Balaraja setelah urusan mereka di Bekasi selesai.

Namun, pengemudi bus ''memaksa'' mereka turun di atas terowongan tol Tangerang-Merak yang berada persis di Kampung Kadinding. Alasannya, sopir bus tidak berani menurunkan mereka di tol Balaraja, mengingat ada petugas Patroli Jalan Raya (PJR).

''Mereka sebenarnya mau turun di Balaraja. Tapi, karena ada patroli PJR, sopir menurunkan mereka di atas terowongan tol. Dan kebetulan sudah petang, mereka salat Magrib di masjid. Karena dicurigai sebagai teroris, mereka ditanyai warga kampung dan aparat desa,'' tandas Budhi. (don/sur/jpnn/ruk)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sikap yang semacam ini yang menjadikan masyarakat semakin salah dalam berpikir dan memahami yang sesungguhnya, aparat yang seharusnya menjadi penegah atau sebagai pihak yang dapat meluruskan pemahaman ini malah balik menuding mereka, sama halnya dengan masyarakat yang lain.  Bahkan dalam kalimat ini : 
“Tidak puas dengan menginterogasi, warga melaporkan pasangan itu ke Polsek Cikande. Polsek Cikande yang menerima laporan tersebut membawa pasangan suami-istri itu ke Mapolsek Cikande. Kapolsek Cikande Ajun Komisaris Polisi (AKP) Budhi Batara pun membenarkan adanya kejadian yang tidak sepantasnya dialami Daud dan Kasitri tersebut.

Setelah menjalani pemeriksaan, tak lama kemudian Daud dan Kasitri dipulangkan. ''Mereka bukan teroris. Setelah kami cek, mereka memang benar warga Balaraja sesuai kartu identitas mereka,'' tegas Budhi.

Dia menilai, kecurigaan warga tersebut berlebihan. ''Selain pakaian yang dikenakan, warga mencurigainya sebagai teroris karena dua warga yang tinggal di Balaraja itu membawa tas besar. Warga mengira isinya bom,'' katanya.

Kepada polisi, Daud dan istrinya menjelaskan bahwa mereka kebetulan berada di kampung tersebut. Mereka sebenarnya berniat pulang ke Balaraja setelah urusan mereka di Bekasi selesai.

Namun, pengemudi bus ''memaksa'' mereka turun di atas terowongan tol Tangerang-Merak yang berada persis di Kampung Kadinding. Alasannya, sopir bus tidak berani menurunkan mereka di tol Balaraja, mengingat ada petugas Patroli Jalan Raya (PJR).”


Hal seperti ini sudah dapat dikatan telah melanggar HAM, mereka dicurigai selayaknya tersangka, padahal mereka bukan siapa – siapa. 
“Setelah peristiwa pengeboman Mega Kuningan 17 Juli 2009, polisi mulai melancarkan operasi penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris. Seperti kemarin baru saja kita saksikan  penyergapan di Jatiasih dan Temanggung yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Dalam penyergapan tersebut diduga bahwa kepolisian telah berhasil menewaskan pelaku teroris nomor satu di negeri ini yaitu Noordin M Top, yang berkewanegaraan Malaysia. Di samping itu, kita lihat di beberapa tempat polisi juga melakukan raziah dengan tujuan untuk mencari orang-orang yang diduga teroris.
Namun bukanlah peristiwa ini yang kami sayangkan. Yang kami risaukan adalah tanggapan masyarakat saat ini mengenai orang - orang yang berpenampilan sama dengan pelaku - pelaku pengeboman. Sejak masa Amrozi dan Ali Imron dulu, sebagian orang memiliki anggapan bahwa orang-orang yang berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki adalah orang-orang yang sekelompok dengan Noordin cs. Atau istri-istri mereka yang mengenakan cadar dituduh sebagai istri para teroris. Jadi, belum tentu orang yang berpenampilan dengan celana di atas mata kaki atau berjenggot adalah teroris atau temannya teroris atau sekomplotan dengan teroris. Tidak otomatis dari penampilan semata seseorang bisa dituduh teroris. “ LINK

Dari kata diatas yang dicetak tebal, masyarakat Indonesia masih selalu memandang seseorang dari penampilan luar, ada pepatah “don’t judge the book from the cover” tampaknya belum dipahami betul oleh masyarakat. Salahkah mereka bila mereka ingin menunjukkan identitas mereka seperti itu ? tidak. Ini Negara demokrasi, semua bebas bersekspresi… Seperti artikel dibawah ini : Sumber
“Ada bebrapa ciri ciri teroris yang di gelembungkan oleh masyarakat ( hasil dari kontruksi oleh masyarakat ) menerangkan 3 ciri umum teroris , yaitu : Berjenggot, Bersurban dan Istri yang Bercadar. hahahah rasanya ini lah salah satu “Modus Operandi”  yang sengaja membuat masyarakat kita krisis dalam beridentitas dan berkebudayaan. hah ??? kok bisa ??? memang negri kita ini kaya dengan manusia yang krisis terhadap identitas dan kepribadian berbangsa dan berbudaya…, ck ck ck ck …. pengin pakai jilbab takut disangka istri teroris, pakai pakean seksi diperkosa orang (sukurin) , yang cowo mau pake jenggot takut di sangka teroris, ga pake jenggot atau berkumis doang takut di katakan kapir…(emang enak ??) hahhahah aneh saja manisia sekarang ini ,  ruang mencari identitas diri sudah semakin sempit dan terkurung oleh banyaknya stigma yang sengaja di bentuk oleh masyarakat ( baca : masyarakat penjajah ) bagaimana kita bisa berkepribadian dalam berbudaya , bagaimana kita bisa menjadikan diri kita berkreatif dan penuh inovasi untuk membangun potensi diri sendiri ?
Bagai mana kita bisa beridentitas ?? jawabnya adalah jadikan diri kita sebagai sosok manusia yang ber ideologi / manusia yang ideologis tentunya tidak mengkesampingkan bahwa akan ada nya pengaruh dari ideologi ideologi yang sudah berkembang sekarang ini, tapi juga tidak menafikkan bahwa kita mampu berbuat ideologis sesuai dengan ideologi yang kita punya sendiri. yaitu ideologi yang muncul dari dalam diri sendiri hasil dari Setiap perbuatan kita yang kita evaluasi dan membuahkan rencana perbuatan selanjutnya. lantas bolehkan kita berdieologi sedacara radikal tanpa melihat nilai nilai budaya dan kerarifan lokal yang ada dalam masyarakat?? tentunya itu pilihan kita untuk menentukan. secara pribadi aku memilih untuk tidak bertentangan dengan kebudayaan dan kearifan lokal yang sudah ada.
Lho kalo begitu kita masih belum bebas dari stigma yang di konstruk atau di bentuk oleh masayarakat dong ?? eiitt tunggu dulu … stigma masyarakat cenderung melakukan aksinya tanpa melihat kondisi seutuhnya, misal masyarakat cenderung membenci orang orang yang bertato karena dulu mantan Narapidana selalu bertatto , memang banyak dari kalangan kita yang membenci para mantan narapidana, sekarang kalo saya bertanya, para narapidana Tipikor pada bertato kah dalam badanya?? Para tahanan cabul nan eksibisonis yang menbuat Video Sex nya sendiri bertatokah mereka? Stigma cenderung subyektif dan kemudian dipropagandakan untuk kepentingan tertentu oleh pihak tertentu pula, nah lu maukan anda dimanfaatkan oeleh pihak tertentu itu ?? terserah pilihan kamlian saya tidak akan ikut campur.
Walaupun aku tidak bertato aku bisa bilang bahwa itu sudah lah sangat salah karena sekarang ini tatto menjadi seni lukis di atas kanvas kulit yang menjadi nilai seni indah yang menpunyai komoditi cukup lumayan. Sedangkan Budaya dan Kearifan lokal yang sudah kita warisi dari nilai nilai yang lurur bentukan oleh nenek moyang kita dan pasti sudah menjadi nilai yang tentu dapat di pertanggungjawabkan secara moral.
saranku ya ..merdekakan diri kalian dah, untuk mencari identitas dan kepribadian diri sendiri jangan tergantung dengan materi  yang ada diluar badanmu atau selamanya kalian tidak akan pernah merdeka untuk diri kalian sendiri. “
==================================================================================================================================================
Artikel ini mengingatkan kita, janganlah menuduh seseorang dari penampilan luar saja, karena dari hal itu dapat menyebabkan salah paham, bahkan lebih besar lagi dampaknya. Seorang perempuang bercadar berkomentar tentang sebuah  kejadian. Seorang ibu berjilbab menangis ketika anaknya meninggal akibat terorisme. Seorang Ayah berjenggot dengan tenang menceritakan kejadiannya anaknya. Mungkin ada kesan “ngeri” ketika melihat orang yang bercadar dan berjenggot. Haruskan terorisme dihubungkan dengan simbol-simbol seperti itu. Bahkan karena kekhawatiran yang ada pihak-pihak tertentu mencurigai orang-orang seperti mereka.  Pada intinya, banyak paradigma yang salah di mata masyarakat yang harus diluruskan. Kembali lagi pada hakikatnya, Paradigma, pandangan, persepsi itulah kata bermakna sama yang sering
kita jumpai dalam keseharian. Setiap hari kita tentu memiliki banyak
paradigma/pandangan terhadap sesuatu maupun orang dalam dunia ini.
Tergambar jelas dari bagaimana sebuah respon kita berikan. Begitu
banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan
duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita
mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan
kepada bawahan di kantor, penampilan orang lain, kebiasaan yang
dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang
seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisi
tersebut. Baik atau buruknya sebuah respon yang kita berikan bergantung
bagaimana persepsi yang berada di otak kepala.

Pahamilah paradigma dan karakter adalah dua sisi yang saling mengikat
satu sama lain. Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa
kita. Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Dan kita tidak
bisa mengubah dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah
keberadaan kita, dan sebaliknya.

Paradigma kita adalah sumber dari mana sikap dan perilaku kita mengalir.
Paradigma sama seperti kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat
segala sesuatu dalam hidup kita. Bila kita melihat sesuatu melalui
paradigma prinsip yang benar, apa yang kita lihat dalam hidup akan
berbeda secara dramatis dengan apa yang kita lihat melalui paradigma
dengan pusat yang lain.

Sementara kita mengembangkan paradigma yang memberdaya kita untuk
melihat melalui lensa kepentingan ketimbang kegentingannya, kita akan
meningkatkan kemampuan kita untuk mengorganisasi dan melaksanakan setiap
minggu dari hidup kita di sekitar prioritas kita yang lain, untuk
menjalani apa yang kita katakan. Kita tidak akan bergantung pada orang
lain atau benda apa pun untuk manajemen yang efektif atas hidup kita. Perubahan paradigma mengubah kita ke arah yang positif atau negatif,
entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma menggerakan
dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain. Dan perubahan paradigma
tersebut menghasilkan perubahan yang kuat. Paradigma kita, benar atau
salah, adalah sumber dari sikap dari perilaku kita, dan akhirnya sumber
dari segala hubungan kita dengan orang lain.

beberapa contoh paradigma lain yang salah... : Sumber
1.   “Kalau kerja jangan jujur-jujur, nanti nggak dapat bagian”
Mari kita ubah “Kalau kerja itu yang jujur…jujur…jujur..biar dapat bagian yang lebih banyak”

2.   “Sekarang cari yang halal saja susah, apalagi cari yang haram”
Mari kita ubah : “Sekarang cari yang halal itu mudah…semakin mudah…semakin mudah…hingga yang haram hilang” wusssssssh…..

3.   “Ayo kerja yang keras, supaya dapat hasil banyak”
Mari kita ubah : “Ayo kerja yang luwes, supaya dapat hasil banyak” …..Mas Nunu bilang “Enjoy your lifes and works”

4.   “Jangan makan brutu (bagian ekor) ayam, nanti cepat lupa”
Mari kita ubah : “Makanlah brutu (bagian ekor) ayam, nanti ingatan kita semakin kuat…kuat…kuat” wuuuusssssssshhhhhhh

5.   Jangan biasakan mengumpat kepada orang lain, apalagi mengumpat kepada ALLAH
Kalau sudah terlanjur, cepat-cepat diubah… STOP jangan lakukan itu…cancel…cancel…cancel… ctrl-alt-del… ctrl-alt-del… ctrl-alt-del…amit-amit jangan terjadi…

6.   Selesai berdoa, jangan tundukkan kepala, seperti orang yang putus asa
tegakkan kepala, tersenyum, dan kepalkan tangan ….ALHAMDULILLAH ….yesssss….

7.   Hilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif dalam lingkungan kita, seperti ngegosip, bercengkerama hal-hal yang tidak bermanfaat, baca berita-berita gosip, berita-berita menyedihkan
Lihat hal-hal yang positif mis. Pemandangan, wajah Mas Nunu, orang-orang  yang berhasil, kumpul dengan orang-orang yang punya pikiran positif, masuk mail list

8.   Doa jangan diulang-ulang, kalau perlu diulang sebaiknya hanya tiga kali, selanjutnya selesai doa yang satu…doa lagi yang lain…doa lagi yang lain…begitu seterusnya hingga doa kita yang pertama tertutupi dan bahkan kita lupa pada doa itu

9.   Ibadah yang kurang istiqomah / continue, mis. Sholat kadang tepat waktu, kadang telat, ubah kebiasaan ini menjadi ibadah yang istiqomah / continue dan terus menerus, untuk laki-laki sebaiknya sholat di masjid / mushollah

Contoh lainnya tentang paradigma yang salah di bidang advokasi : Sumber  
Yogyakarta - Dalam masyarakat terdapat pandangan yang keliru terhadap paradigma advokat selama ini. Misalnya, advokat harus membela kliennya agar terbebas dari tuntutan hukum, meski kliennya sesungguhnya bersalah.

Dan, dari advokat sendiri sulit ditemukan yang mau meminta hakim agar menghukum kliennya karena memang bersalah. Sebaliknya, advokat selalu minta kliennya dibebaskan tanpa mempertimbangkan kesalahan klien.

Meski hal itu memprihatinkan, tapi Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PAI), Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M., di Fakultas Hukum UGM, mengaku bisa memahami. Karena seorang advokat di satu sisi menerima bayaran dari klien sehingga ia bertindak untuk dan atas nama klien. Di sisi lain, seorang advokat adalah penegak hukum yang harus membela kebenaran dan keadilan.

"Saya kira kita sudah sama-sama mengetahui permasalahan ini. Tapi lembaga penegak hukum termasuk Fakultas Hukum tidak pernah menilai permasalahan ini sebagai persoalan yang hakiki dan serius sehingga tidak pernah diupayakan untuk mengubah paradigma tersebut," kata dia.

Menurut Otto permasalahan ini sebagai salah satu akar gagalnya penegakan hukum oleh advokat. Seandainya paradigma ini bisa diubah, advokat tentu tidak akan tunduk pada permintaan kliennya dan akan membela demi kebenaran, bukan demi klien yang membayarnya.

Dia lalu menyarankan Fakultas Hukum harus mampu memberikan peringatan dini tentang paradigma ini kepada para mahasiswanya. Jika tidak disampaikan, para mahasiswa hukum mestinya akan terpengaruh dan mengikuti sepak terjang para penegak hukum yang dilihatnya di televisi, di media cetak, dan elektronik. "Sebagaimana yang sering kita lihat akhir-akhir ini.”

Di samping itu, ia juga menilai jaksa memiliki pemahaman atau paradigma yang salah tentang "penunututan". Seorang jaksa saat melakukan penuntutan sesungguhnya dilakukan demi tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.

''Apabila seorang terdakwa tidak bersalah, haruslah dibebaskan. Namun, dalam proses penuntutan, tanpa disadari jaksa selalu mencari-cari kesalahan terdakwa tanpa mau mempertimbangkan kebenarannya,'' ujarnya sembari menambahkan, bagi seorang jaksa, seorang terdakwa haruslah dituntut untuk dihukum meskipun tidak bersalah. ''Sulit kita temukan saat ini jaksa menuntut bebas terdakwa karena diyakini tidak bersalah," kata Otto.(wok)

Contoh paradigm keliru tentang pekerjaan : LINK
Beberapa teman yang memutuskan untuk berhenti bekerja beberapa tahun yang lalu, kini mengalami kesulitan keuangan dan kembali ke perusahaan lama untuk melamar kembali walau hanya menjadi pegawai kontrak.
Kesulitan-kesulitan dan keterpurukan mereka setelah lepas dari menjadi pegawai tersebut disebabkan oleh berbagai factor antara lain adalah ketidak siapan mereka dengan segala resikonya untuk menjadi wirausaha, dan terutama adalah paradigm yang keliru pada awalnya mereka memutuskan untuk berhenti dari bekerja.
Paradigm yang keliru itu adalah:

1.      Pertentangan batin
Pertentangan batin di dalam pekerjaan disebabkan banyak hal, antara lain adalah alasan bahwa pekerjaan tidak sesuai dengan agama, teman sekerja yang tidak cocok, atasan yang selalu mendikte, peraturan perusahaan yang terlihat merugikan.
Apabila pertentangan batin ini yang menyebabkan anda berhenti bekerja, marilah kita tanyakan lagi, apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah pertentangan batin anda?

2. Gaji tidak cukup
Berhenti bekerja karena alasan bahwa gaji anda saat ini tidak cukup justru akan menyiksa anda. Ketika anda berhenti bekerja dan menjadi wirausaha bakalan membawa kenyataan bahwa segala fasilitas akan hilang dan tahun-tahun pertama usaha adalah tahun dimana pendapatan anda tidak akan sebesar ketika anda bekerja

3. Bosan jadi karyawan
Rasa bosan adalah rasa tidak nyaman. Bosan jadi karyawan adalah tindakan untuk menghindari rasa tidak nyaman dan mencari kenyamanan baru. Apabila anda bosan jadi karyawan, anda juga akan mempunyai rasa bosan nantinya menjadi apapun juga selain jadi karyawan. Anda bosan menghadapi tantangan, anda bosan menghadapi persaingan, anda bosan mengelola usaha sendiri.

4. Ikut – ikutan
Banyak orang yang besar keinginan keluar dari pekerjaan karena ikut-ikutan. Mereka baru saja membaca buku ‘menjadi pengusaha’, baru saja ikut training atau seminar pengusaha, atau baru saja mendengar kisah orang yang berhasil setelah keluar dari pekerjaan.
Ini adalah alasan yang parah dan emosional.
Mari kita ingat kembali, apakah emosi anda keluar dari pekerjaan disebabkan oleh buku, oleh seminar dan training, atau oleh cerita orang lain?

Marilah kita atur ulang dan kita kembalikan kembali pardigma anda untuk memutuskan keluar dari pekerjaan, sehingga anda benar-benar siap untuk berhenti bekerja dan dapat menghadapi segala macam tantangan yang ada.
Apakah ketika anda memutuskan keluar dari pekerjaan membawa salah satu paradigm salah tersebut? Apabila iya, sebelum terlambat segera perbaiki dan rumuskan ulang tujuan anda!



Contoh paradigm yang keliru tentang buruh : LINK
JIKA paradigma diumpamakan sebagai "kacamata" atau kerangka berpikir dalam melihat suatu persoalan, maka "kacamata" yang selama ini dipakai para penentu kebijakan bidang perburuhan justru membuat persoalan buruh menjadi kabur, samar-samar bahkan tidak terlihat sama sekali. Banyak hal yang perlu dikoreksi, ditata dan dibangun kembali dalam kerangka rekonstruksi pemikiran dalam bidang yang menyangkut nasib banyak orang ini.
Pemerintah memang telah sering-bahkan terlalu sering-menegaskan political will yang baik dalam memperjuangkan nasib, mengangkat harkat dan memperbaiki nasib kaum buruh. Sayangnya, (lagi-lagi) semua itu hanya di atas kertas belaka. "Angin surga" dan secercah harapan bahwa kebijakan perburuhan akan memihak pihak buruh lewat Kepmennaker No 150/ MEN/2000 pada akhirnya pun harus mengalah pada kepentingan pihak pengusaha, dan atas nama pertumbuhan ekonomi serta kepentingan nasional yang lebih luas versi pemerintah.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Kepmennaker No 150/MEN/2000-yang agak sedikit berpihak pada pihak buruh-dalam praktik sering diacuhkan dan "tidak dianggap" sama sekali oleh pengusaha. Tragis memang nasib buruh Indonesia, untuk perlindungan hak-hak yang sudah dijamin oleh hukum positif tertulis pun masih dianggap sepi. Entah apa yang akan terjadi terhadap nasib kaum buruh setelah Kepmennaker ini dicabut dengan Kepmennaker No 78/MEN/ 2001 yang menghebohkan itu.

Persoalan perburuhan
Kepekaan dan sensitivitas dalam memandang persoalan buruh sebagai persoalan multifaset, yang menyangkut bidang politik, sosial dan ekonomi nasional diperlukan-lebih dari memandang persoalan ini hanya sebatas menyangkut masalah "perut" buruh belaka. Beberapa paradigma yang keliru dalam memandang masalah perburuhan antara lain diuraikan sebagai berikut.
Pertama, kebijakan perburuhan selama ini masih mencerminkan pihak buruh yang dipandang sebatas faktor ekonomi saja, sebagai objek pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, bagi pihak pengusaha, sesuai prinsip ekonomi. Adalah wajar, jika pihak pengusaha sebagai employer-yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi buruh-mengharapkan return dari modal yang dikeluarkannya untuk membuka usaha, berupa profit finansial. Tetapi, menjadi tidak wajar, jika target keuntungan finansial itu berusaha diraih dengan menghalalkan segala cara, menekan cost produksi sekecil-kecilnya, dan mengabaikan kesejahteraan buruh sebagai manusia. Sayangnya, suka atau tidak, diakui atau tidak, kasus-kasus pengabaian hak-hak buruh sebagai manusia sering terjadi di Indonesia, yang "katanya" berdasarkan Pancasila dan menempatkan asas "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" di dalamnya.
Kedua, akibat lebih jauh dari "salah pandang"-di mana buruh hanya dilihat sebagai faktor ekonomi semata-dapat diperkirakan, bahwa buruh pun diperlakukan sebatas obyek. Yakni obyek untuk dinaikkan harkat dan martabatnya, obyek untuk dilindungi hak-haknya (setidaknya secara teori), obyek untuk dikasihani dan diberi simpati, bahkan lebih parah lagi sebagai obyek eksploitasi bagi kepentingan politis segelintir oportunis yang ingin memanfaatkan gerakan kaum buruh bagi kepentingan individu maupun kelompoknya.
Kerap kali persoalan buruh menjadi termarjinalkan, tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia perpolitikan atau persoalan ekonomi lainnya dan menjadi expendable jika dihadapkan menurut skala prioritas dengan persoalan di bidang-bidang lain itu.
Ketiga, kekeliruan lainnya adalah ketidakacuhan sebagian kelompok buruh akan perjuangan kaumnya sendiri. Entah disadari atau tidak selama ini yang banyak bergerak melakukan aksi-aksi "turun ke jalan" justru buruh yang dikelompokkan ke dalam blue collar worker. Memang, kepedulian dan solidaritas akan nasib buruh tidak harus dan tidak selalu perlu ditunjukkan dengan aksi pengerahan massa besar-besaran, yang kadang malahan memberi kesan sebagai unfriendly movement bagi sebagian kalangan masyarakat terhadap aksi kaum buruh yang beberapa dimanfaatkan oleh oknum untuk merusak sarana serta fasilitas publik. Namun, kaum buruh yang masuk dalam kelompok white collar worker pun setidaknya harus mau menunjukkan dukungan, slidaritas, dan rasa senasib sepenanggungan-dengan cara yang mereka anggap paling sesuai tentunya-karena semodis apa pun pakaian yang mereka pakai saat bekerja, semegah apa pun gedung tempat mereka bekerja dan setinggi apa pun gaji juga posisi mereka, selama mereka masih bekerja pada orang lain, untuk melakukan pekerjaan tertentu, di bawah perintah, dengan menerima upah, dalam waktu tertentu-sesuai ketentuan perundangan tentang perburuhan yang ada entah itu blue collar atau white collar juga termasuk sebagai buruh, yang juga menerima "getah" dari ketentuan perburuhan yang berlaku.
Keempat, hal lain yang perlu dikoreksi adalah menghapuskan anggapan sebagian orang bahwa gerakan buruh hanya mengganggu stabilitas dan sekadar aksi protes belaka. Sulit menilai apakah suatu protes atau tuntutan yang disuarakan memang proporsional atau tidak, namun pihak buruh pun (khususnya penggerak aksi-aksi buruh) harus pula melakukan intropeksi dan memeriksa "kacamata" mereka terhadap hubungannya dengan pihak majikan. Secara teori (juga praktik) pihak buruh memang menjadi sub-ordinat pihak majikan, namun tidak sedikit pula pihak majikan-dalam hal ini sebagai employer-yang sudah sadar serta tercerahkan untuk selalu berusaha memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
Apabila pihak buruh menuntut terlalu banyak atau expect too much, lebih dari yang menjadi hak-haknya, justru menjadi bumerang bagi pihak buruh dan gerakan mereka. Ini tidak berarti menyalahkan buruh yang memperjuangkan hak-hak mereka yang belum dipenuhi-yang memang harus diperjuangkan-tetapi bahwa buruh pun harus sadar manakala hak-hak telah dipenuhi, jangan malahan mengabaikan kewajibannya.

Penutup
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memihak kelompok tertentu, entah pihak buruh, pengusaha atau pun pemerintah. Tetapi mencoba melihat persoalan perburuhan secara obyektif. Banyak kekeliruan cara pandang atau paradigma sebagai "kacamata" dalam memandang persoalan ini yang membuat kekusutan benang yang ada semakin kusut.
Upaya menguraikan benang kusut persoalan perburuhan harus dimulai dengan merekonstruksi kembali paradigma dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang masih ada. Setidak-tidaknya upaya ini harus dimulai dengan titik tolak yang sama, bahwa buruh tidak semata-mata sebagai obyek tetapi sebagai subyek, dan gerakan buruh harus dipandang bukan sebagai pengganggu stabilitas yang anti status quo semata, atau sebatas menuntut perbaikan nasib dan hak-haknya, melainkan untuk memandang buruh sebagai manusia sesuai prinsip-prinsip universal kemanusiaan yang telah kita akui bersama.
Baik pihak pengusaha, buruh maupun pemerintah harus bersikap legowo untuk memeriksa kembali melalui refleksi, apakah "kacamata" mereka masih sesuai atau tidak. Hal ini penting untuk mencegah bermacam prejudice, stigma, stereotip atau sikap apriori masing-masing pihak satu sama lain yang selama ini mengemuka-yang justru membuat benang kusut persoalan perburuhan menjadi semakin ruwet-dalam semangat kesatuan, persatuan dan kepentingan nasional yang hakiki dan murni, tentunya.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar