Kamis, 17 November 2011

Paradigma yang Salah dan Dianggap Sebagai Kebenaran Pada Masyarakat


Begitu banyak anggapan – anggapan yang salah dan terdapat di masyarakat luas, banyak yang menganggapnya bahkan sebagai suatu kebenaran dan menjadikannya sebagai suatu tolak ukur dalam menentukan sesuatu. Padahal jika ditelaah lebih jauh, anggapan yang mereka anggap benar itu merupakan sebuah kesalahan atau kekeliruan. Pemahaman seperti itu atau yang biasa disebut dengan paradigma adalah sebuah pemikiran atau pemahaman tentang sesuatu dan dapat “mendoktrin” seseorang untuk selalu berpikir seperti itu. Hal ini sebenarnya sama saja seperti sebuah salah paham, dan dapat menimbulkan  perbedaan bahkan perpecahan. Sebagai contoh kecil, paradigma yang salah itu seperti ini. Banyak yang beranggapan bahwa hal – hal yang berhubungan dengan internet ataupun semacamnya selalu negatif karena mengandung hal-hal berbau pornografi, dan perjudian. Padahal internet itu adalah sebuah sumber informasi yang sangat besar, segala hal yang ingin kita ketahui bisa kita dapatkan disitu. Namun karena paradigma yang seperti itu tadi yang mengakibatkan masyarakat kurang kepeduliannya terhadap internet ini.  Bahaya sebuah paradigma bukan hanya dapat mempengaruhi seseorang tapi juga bahkan dapat mencakup dunia luas, ketakutan yang berlebihan dan bahkan dapat megacaukan sebuah Negara. Salah satu contoh yang akan saya bahas adalah paradigma masyarakat terhadap orang yang bercadar atau berjanggut dan memakai peci, mereka menganggap orang – orang yang berpakaian seperti itu adalah teroris. Apakah memang mereka tahu bahwa orang – orang seperti itu adalah benar – benar teroris ? tentu saja mereka tidak tahu. Mereka hanya terpaku pada satu pola pikir yang salah, paradigm yang salah. Mereka sudah “terdoktrinasi” oleh hal – hal semacam itu. Jadi apapun yang dianggapnya salah maka akan langsung “di-judge” salah. Padahal sebenarnya mereka itu tidak tahu apa – apa. Ujung – ujungnya mereka akan saling menuduh, berpikiran yang tidak – tidak. Dan justru yang menjadi korban adalah orang yang disangka seperti itu akan dikucilkan dan menjadi buangan di masyarakat. Paradigma ini harusnya diluruskan oleh siapa saja, bukan hanya masyarakat yang meluruskan, para aparat penegak hukum pun  juga harus melaksanakan, tapi apa yang terjadi. Para penegak hukum itu pun bahkan balik menuding bahwa mereka memang patut untuk dicurigai. Seperti yang dikutip dalam Kompas.com tanggal 26 Agustus 2009 berikut ini : Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com — Ajakan pihak kepolisian di sejumlah daerah agar masyarakat lebih waspada terhadap orang-orang dengan penampilan berjenggot dan berjubah menuai kontroversi. Sebab, sikap kewaspadaan terhadap kelompok dengan penampilan yang dianggap identik dengan teroris itu melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurut Komisioner Komnas HAM Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Saharudin Daming, tiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk membentuk karakter pribadinya, termasuk untuk berpenampilan berjenggot dan berjubah sebagaimana terdapat dalam agama Islam. Hak tersebut tidak dapat dibatasi apalagi dikurangi
"Jika polisi sudah masuk ke tahap waspada, apalagi sampai curiga, maka itu sudah melanggar HAM," kata Saharudin dalam diskusi "Waspada terhadap Orang Berjubah dan Berjanggut", di Jakarta, Rabu (26/8). 
Menurut dia, jenggot dan jubah tidak selalu identik dengan apa yang diprasangka dan menjadi stigmatisasi sebagian kalangan terhadap para pelaku terorisme. Ia menilai, dengan ajakan sikap kewaspadaan yang berlebihan tersebut, justru menunjukkan bahwa polisi tidak mengenal siapa sebenarnya kelompok-kelompok dalam jaringan terorisme.
"Jangan dengan gampang menjadikan suatu ciri sebagai stereotipe sebagai pelaku teror. Ini sama saja dengan menebar kebencian terhadap kelompok tertentu," ujarnya.
Ia juga mencontohkan kejadian beberapa waktu lalu di Cikupa, Tangerang, ketika seorang pria berjenggot dan berjubah dengan istrinya yang bercadar mendapatkan interogasi yang berlebihan dari warga karena penampilannya yang dianggap mirip teroris itu.
"Ini salah satu akibat dari sikap kewaspadaan yang tidak pada tempatnya. Jelas ini mengganggu kenyamanan seseorang dalam mengekspresikan martabat dirinya," kata Saharudin.
Ia juga meminta agar polisi meninggalkan sikap-sikap represif dalam menangani persoalan radikalisme semacam ini. Tindakan represif dan kekerasan justru akan memperluas radikalisme itu sendiri. Menurutnya, harus ada pendekatan yang sifatnya dialogis dan humanis untuk merangkul kelompok-kelompok yang berpotensi dekat dengan teroris.
"Cobalah undang dan ajak dialog kelompok-kelompok yang berjenggot dan berjubah. Apa yang sebenarnya mereka inginkan. Harus ada koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang diskriminatif," katanya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------