Begitu
banyak anggapan – anggapan yang salah dan terdapat di masyarakat luas, banyak
yang menganggapnya bahkan sebagai suatu kebenaran dan menjadikannya sebagai
suatu tolak ukur dalam menentukan sesuatu. Padahal jika ditelaah lebih jauh,
anggapan yang mereka anggap benar itu merupakan sebuah kesalahan atau
kekeliruan. Pemahaman seperti itu atau yang biasa disebut dengan paradigma
adalah sebuah pemikiran atau pemahaman tentang sesuatu dan dapat “mendoktrin”
seseorang untuk selalu berpikir seperti itu. Hal ini sebenarnya sama saja
seperti sebuah salah paham, dan dapat menimbulkan perbedaan bahkan
perpecahan. Sebagai contoh kecil, paradigma yang salah itu seperti ini. Banyak
yang beranggapan bahwa hal – hal yang berhubungan dengan internet ataupun semacamnya
selalu negatif karena mengandung hal-hal berbau pornografi, dan perjudian.
Padahal internet itu adalah sebuah sumber informasi yang sangat besar, segala
hal yang ingin kita ketahui bisa kita dapatkan disitu. Namun karena paradigma
yang seperti itu tadi yang mengakibatkan masyarakat kurang kepeduliannya
terhadap internet ini. Bahaya sebuah paradigma bukan hanya dapat
mempengaruhi seseorang tapi juga bahkan dapat mencakup dunia luas, ketakutan
yang berlebihan dan bahkan dapat megacaukan sebuah Negara. Salah satu contoh
yang akan saya bahas adalah paradigma masyarakat terhadap orang yang bercadar
atau berjanggut dan memakai peci, mereka menganggap orang – orang yang
berpakaian seperti itu adalah teroris. Apakah memang mereka tahu bahwa orang –
orang seperti itu adalah benar – benar teroris ? tentu saja mereka tidak tahu.
Mereka hanya terpaku pada satu pola pikir yang salah, paradigm yang salah.
Mereka sudah “terdoktrinasi” oleh hal – hal semacam itu. Jadi apapun yang
dianggapnya salah maka akan langsung “di-judge” salah. Padahal sebenarnya
mereka itu tidak tahu apa – apa. Ujung – ujungnya mereka akan saling menuduh,
berpikiran yang tidak – tidak. Dan justru yang menjadi korban adalah orang yang
disangka seperti itu akan dikucilkan dan menjadi buangan di masyarakat.
Paradigma ini harusnya diluruskan oleh siapa saja, bukan hanya masyarakat yang
meluruskan, para aparat penegak hukum pun juga harus melaksanakan, tapi
apa yang terjadi. Para penegak hukum itu pun bahkan balik menuding bahwa mereka
memang patut untuk dicurigai. Seperti yang dikutip dalam Kompas.com tanggal 26
Agustus 2009 berikut ini : Sumber
JAKARTA,
KOMPAS.com — Ajakan pihak kepolisian di sejumlah daerah agar
masyarakat lebih waspada terhadap orang-orang dengan penampilan berjenggot dan
berjubah menuai kontroversi. Sebab, sikap kewaspadaan terhadap kelompok dengan
penampilan yang dianggap identik dengan teroris itu melanggar hak asasi manusia
(HAM).
Menurut
Komisioner Komnas HAM Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Saharudin Daming, tiap
orang memiliki hak dan kebebasan untuk membentuk karakter pribadinya, termasuk
untuk berpenampilan berjenggot dan berjubah sebagaimana terdapat dalam agama
Islam. Hak tersebut tidak dapat dibatasi apalagi dikurangi
"Jika
polisi sudah masuk ke tahap waspada, apalagi sampai curiga, maka itu sudah
melanggar HAM," kata Saharudin dalam diskusi "Waspada terhadap Orang
Berjubah dan Berjanggut", di Jakarta, Rabu (26/8).
Menurut
dia, jenggot dan jubah tidak selalu identik dengan apa yang diprasangka dan
menjadi stigmatisasi sebagian kalangan terhadap para pelaku terorisme. Ia
menilai, dengan ajakan sikap kewaspadaan yang berlebihan tersebut, justru
menunjukkan bahwa polisi tidak mengenal siapa sebenarnya kelompok-kelompok
dalam jaringan terorisme.
"Jangan
dengan gampang menjadikan suatu ciri sebagai stereotipe sebagai pelaku teror.
Ini sama saja dengan menebar kebencian terhadap kelompok tertentu,"
ujarnya.
Ia
juga mencontohkan kejadian beberapa waktu lalu di Cikupa, Tangerang, ketika
seorang pria berjenggot dan berjubah dengan istrinya yang bercadar mendapatkan
interogasi yang berlebihan dari warga karena penampilannya yang dianggap mirip
teroris itu.
"Ini
salah satu akibat dari sikap kewaspadaan yang tidak pada tempatnya. Jelas ini
mengganggu kenyamanan seseorang dalam mengekspresikan martabat dirinya,"
kata Saharudin.
Ia
juga meminta agar polisi meninggalkan sikap-sikap represif dalam menangani
persoalan radikalisme semacam ini. Tindakan represif dan kekerasan justru akan
memperluas radikalisme itu sendiri. Menurutnya, harus ada pendekatan yang
sifatnya dialogis dan humanis untuk merangkul kelompok-kelompok yang berpotensi
dekat dengan teroris.
"Cobalah
undang dan ajak dialog kelompok-kelompok yang berjenggot dan berjubah. Apa yang
sebenarnya mereka inginkan. Harus ada koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang
diskriminatif," katanya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------